April Group Diduga Jadi Dalang Greenwashing Terbesar di Sumatera!

April Group Diduga Jadi Dalang Greenwashing Terbesar di Sumatera!

Pangkalan Kerinci — Jualan tagline “berkelanjutan” (sustainable) yang digaungkan April Group, induk perusahaan PT Riau Pulp and Paper (RAPP), sukses meyakinkan pasar negara maju yang sangat peduli isu lingkungan bahwa perusahaan kertas milik Sukanto Tanoto ini telah memutus mata rantai pasokan bahan baku dari kayu akasia secara ilegal. Untuk urusan kampanye isu tersebut, Royal Golden Eagle, dengan April Group sebagai salah satu lengan bisnisnya, memang lihai memainkan kata sustainable itu.

Namun, narasi yang disampaikan April Group itu sangat bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Kata “berkelanjutan” tidak seindah realitas deforestasi akibat keberadaan RAPP di Bumi Melayu ini, melalui praktik penebangan hutan alam dan pembukaan lahan untuk perkebunan akasia. Aktivitas RAPP dikritik karena berdampak pada hilangnya hutan alam, habitat satwa liar, dan terganggunya ekosistem.

Fenomena pencitraan ramah lingkungan yang dibungkus tagline sustainable tak lebih dari sekadar upaya perusahaan untuk menutupi aktivitas ilegal di jalur hitam operasional anak-anak perusahaan di bawah bendera Raja Garuda Emas milik Tan Kang Hoo. Apa yang dilakukan RGE, April, dan RAPP dikenal sebagai greenwashing — klaim menyesatkan atau menciptakan kesan seolah-olah kegiatan mereka ramah lingkungan atau berkelanjutan, padahal sebenarnya tidak.

“Mereka (April Group, red) telah menipu kita,” kata anggota DPRD Pelalawan dari Partai Gerindra, Yusri SH, Rabu (28/5/2025).

Pernyataan Yusri bukan tanpa data; bukan sekadar ikut-ikutan memanaskan topik RAPP yang belakangan ini ramai setelah sidak DPR RI, Deputi Gakkum, Deputi Pengendalian Lingkungan KLH, serta kunjungan Menteri ke pabrik tisu tak berizin milik RAPP. Politisi kelahiran Kerumutan itu memiliki informasi detail soal praktik curang cukong kayu ilegal di bawah panji RGE.

Yusri menyoroti anomali dalam sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Rantau Kasih di Kabupaten Kampar. Meski menyandang nama “lembaga,” semua aktivitas pengelolaan kayu akasia sepenuhnya dilakukan oleh PT RAPP, anak perusahaan April Group.

Masyarakat setempat tidak sepenuhnya memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya hutan desa, meski menjadi penyuplai kebutuhan dasar pabrik raksasa RAPP. Sayangnya, manfaat ekonomi justru tidak dirasakan masyarakat.

“Bahkan KPK sudah meminta keterangan dari Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup terkait kasus ini. Artinya, kasus ini serius,” beber Yusri.

Menurutnya, penanaman akasia di areal hutan Desa Rantau Kasih sejatinya sudah berlangsung sejak 1999, jauh sebelum status hutan desa secara resmi ditetapkan. Ini mengindikasikan cara culas perusahaan mengakali aturan yang berlaku dengan melibatkan masyarakat hanya secara administratif demi mendapat legitimasi aktivitas mereka di hutan Kampar.

“Namanya saja Lembaga Pengelola Hutan Desa, tapi yang melakukan pengelolaan lahan dan kayu sepenuhnya perusahaan, dikontrol PT RAPP,” terangnya.

Hal serupa terjadi di Pelalawan, di mana di beberapa desa ditemukan pola curang RAPP memanfaatkan nama rakyat. Yusri pun menyoroti perusahaan bernama PT Persada Karya Sejati (PKS), yang terdaftar sebagai mitra RAPP dalam program Hutan Rakyat (HR), yang seharusnya berbasis operasional rakyat di atas tanah milik masyarakat.

Faktanya, PT PKS adalah korporasi bisnis yang menguasai lahan eks kawasan hutan tanpa Hak Guna Usaha (HGU), dan sejauh ini perusahaan itu tidak pernah melakukan peralihan hak secara sah. Artinya, aktivitas perusahaan ini ilegal.

“Tanaman akasia di areal tersebut sudah ditanam sejak tahun 2000-an dan sudah dipanen sebelum perusahaan mengantongi Izin Lokasi di 2018, Izin Usaha Perkebunan yang keluar di 2020, serta sebelum perusahaan mengurus Sertifikat Legalitas yang baru keluar di 2021,” ungkap Yusri.

“Artinya, kayu-kayu yang dikirim ke pabrik RAPP di Pangkalan Kerinci adalah kayu ilegal yang berasal dari praktik pemanfaatan hasil hutan tanpa dasar legalitas yang sah,” imbuhnya.

Apa yang dilakukan PT RAPP di Kampar dan Pelalawan, meskipun menggunakan skema berbeda — hutan desa dan hutan rakyat — pola yang dijalankan tetap sama, yaitu memanfaatkan struktur sosial untuk membungkus praktik penguasaan lahan dan produksi kayu dengan menggandeng mitra fiktif.

“Dalam beroperasi, RAPP banyak membuat perusahaan-perusahaan kecil untuk mengelabui aturan, yang bisa dijadikan kambing hitam, yang kantornya tidak bisa dilacak, modalnya hanya kop surat dan stempel saja. Kalau ada masalah, mereka berdalih itu bukan RAPP, itu perusahaan rekanan. Padahal, bagian dari mereka juga. Kita punya data itu,” kata politisi Gerindra ini.

Yusri menegaskan, rantai pasok bahan baku industri yang didapat RAPP melalui skema perhutanan sosial merupakan aksi manipulasi sistem, agar kayu-kayu ilegal yang dibawa ke pabrik kertas PT RAPP seolah sah secara hukum. Padahal, sejatinya aktivitas itu bertentangan secara sosial maupun hukum negara.

“Jadi, kata ‘masyarakat’ itu hanya dipakai RAPP untuk pencitraan mereka, untuk greenwashing perusahaan bahwa mereka mendukung skema keberlanjutan. Padahal mereka manipulatif,” imbuhnya.

Yusri menambahkan, kampanye RAPP dengan strategi greenwashing bertujuan mengaburkan pola bisnis eksploitatif yang dibungkus baik-baik dengan narasi partisipasi sosial, meski substansinya tetap saja murni korporatif.

“Sebenarnya banyak kebusukan yang terjadi dalam sistem dan operasional PT RAPP. Tapi dengan memanfaatkan masyarakat dan mitra binaan yang sudah mereka bentuk, RAPP semakin leluasa mengeksploitasi sumber daya alam negeri ini. Hanya segelintir orang yang menikmati, tapi seolah-olah seluruh sendi sosial dan pembangunan negeri ini bergantung ke RAPP. Kita ditipu dengan klaim menyesatkan mereka, greenwashing mereka,” tegasnya.

Jika skema-skema yang dijalankan RAPP dibiarkan, Yusri yakin bahwa legalisasi eksploitasi atas nama rakyat sudah dipupuk dengan baik di negeri ini, yang pada akhirnya akan dibayar mahal oleh hutan dan masyarakat tempatan itu sendiri. Dampaknya sudah terasa: bencana banjir yang dihadapi Kabupaten Pelalawan dalam beberapa tahun terakhir, bencana asap, hilangnya habitat hewan liar, serta kerusakan lingkungan lainnya.

Dari luas lahan yang dikuasai PT PKS sebanyak 1.255 hektare — yang berasal dari pelepasan kawasan hutan untuk PT Langgam Inti Hibrindo (PT LIH) sejak 1995 tanpa pernah ada peralihan hak yang sah — PT PKS telah melakukan pemanenan kayu akasia secara masif pada 2022 di atas lahan yang dikuasai secara ilegal. Ini menjadi bukti nyata perusahaan tengah menjalankan greenwashing secara terstruktur.

“Atas aktivitas ilegal PT RAPP itu, dari hitungan aktivis lingkungan yang kami pegang, negara dan lingkungan dirugikan sebesar Rp 232 miliar akibat kerusakan ekologis,” rinci Yusri.

Permainan curang yang diterapkan RAPP dalam gurita bisnis pulp dan turunannya sejatinya menjadi pengingat bagi pemimpin negeri dan aparat penegak hukum bahwa masih banyak lahan bekas pelepasan kawasan hutan yang belum dikonversi secara sah menjadi HGU, namun sudah dimanfaatkan secara masif oleh PT RAPP dan anak-anak perusahaannya.

“Kita mendesak KPK dan APH menindaklanjuti kasus ini dan menuntaskannya demi keadilan masyarakat, demi marwah pemerintah juga,” pungkas legislator Pelalawan dari Partai Gerindra itu. *(Md)

Komentar Via Facebook :