Skandal CSR PT RPR: Dugaan Pemotongan Dana dan Proyek Fiktif Mencuat!

Skandal CSR PT RPR: Dugaan Pemotongan Dana dan Proyek Fiktif Mencuat!

foto ilustrasi diambil dari google

PEKANBARU - Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan bentuk tanggung jawab sosial yang diemban oleh perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Prinsip ini menekankan bahwa perusahaan tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga wajib memperhatikan dampak sosial dan lingkungan dari setiap aktivitas bisnis yang dijalankan.

Pelaksanaan CSR mencakup berbagai aspek penting, mulai dari dukungan di bidang pendidikan dan kesehatan, pelestarian lingkungan, hingga penerapan etika bisnis yang sehat dalam relasi dengan karyawan dan masyarakat luas.

Namun, implementasi CSR oleh PT Riau Petroleum Rokan (RPR) saat ini tengah menjadi sorotan publik. Dugaan penyaluran yang tidak tepat sasaran serta indikasi pemotongan dana bantuan menjadi perhatian serius. Salah satu pihak penerima CSR, yakni Yayasan Nursya'bani yang beralamat di Pekanbaru, mengaku kebingungan saat diminta klarifikasi terkait nominal dana bantuan yang mereka terima.

Ketua Yayasan Nursya'bani, Sutarto, mengungkapkan bahwa yayasannya menerima dana CSR dalam bentuk tunai dari perwakilan PT RPR yang bernama Rendi, dengan jumlah sekitar Rp198 juta. Namun, menurutnya, terdapat potongan sebesar 10 persen sebagai bentuk "uang lelah".

"Dana bantuan diserahkan secara tunai oleh saudara Rendi dari PT RPR. Kami memiliki bukti penyerahan tersebut, tetapi dokumennya saat ini dibawa anak saya yang sedang kuliah," ujar Sutarto kepada awak media.

Sementara itu, seorang narasumber berinisial "T" yang turut membantu dalam penyusunan proposal yayasan, mengungkapkan bahwa ketua yayasan sempat menyampaikan bahwa dana bantuan yang diterima hanya sebesar Rp100 juta.

"Ketua yayasan datang untuk meminta bantuan penyusunan proposal. Setelah disetujui, beliau mengatakan hanya menerima Rp100 juta. Padahal saya sama sekali tidak menanyakan soal jumlahnya," ujar T.

Di sisi lain, perwakilan PT RPR, Rendi, membantah adanya pemotongan dana CSR. Ia menegaskan bahwa dana telah disalurkan secara utuh dan sesuai prosedur internal perusahaan.

"Tidak ada pemotongan. Kami menyerahkan dana tunai sebesar Rp190 juta, bukan Rp198 juta seperti yang disebutkan. Mungkin ada pihak yang iri karena tidak mendapat bantuan. Kalau mau diberitakan, sekalian saja kami bantu Rp1 miliar supaya makin ramai," kata Rendi dengan nada sindiran.

Namun, dalam pernyataan selanjutnya, Rendi mengakui bahwa dirinya menerima sejumlah uang dalam bentuk "uang rokok", dan menyatakan kesediaannya untuk mengembalikan jika hal tersebut dianggap bermasalah.

"Itu hanya uang rokok. Kalau memang dipermasalahkan, saya siap kembalikan," imbuhnya.

Tim media yang melakukan tiga kali kunjungan ke Yayasan Nursya'bani tidak menemukan adanya aktivitas belajar mengajar di lokasi, sehingga memunculkan dugaan adanya kerja sama antara pihak yayasan dengan oknum perusahaan untuk memperoleh keuntungan pribadi dari dana CSR.

Tak hanya itu, hasil investigasi lanjutan menemukan dugaan penggunaan dana CSR sekitar Rp3 miliar untuk membiayai kegiatan Festival Renjana Cita Srikandi dalam rangka peringatan HUT ke-67 Provinsi Riau. Dana tersebut dikabarkan baru dibayarkan setelah acara selesai digelar. Penyelenggara acara (event organizer/EO) disebut-sebut berasal dari Jakarta dan memiliki kedekatan dengan seorang pejabat berinisial "TK".

Informasi yang diperoleh tim media menyebutkan bahwa saat itu, Penjabat (Pj) Gubernur Riau, SF Hariyanto, diduga mengirimkan surat rekomendasi berlogo Garuda, yang berisi permintaan agar proposal dari EO tersebut dipenuhi.

Saat dikonfirmasi, SF Hariyanto menjelaskan bahwa dana CSR dapat digunakan untuk mendukung kegiatan pemerintah daerah, termasuk peringatan Hari Ulang Tahun Provinsi Riau.

"CSR memang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan daerah, termasuk peringatan HUT Riau, kalau tidak salah," ujarnya singkat.

Namun, setelah konfirmasi dilakukan, akun WhatsApp redaksi diblokir oleh SF Hariyanto. Saat tim mencoba menghubungi melalui nomor berbeda, status pesan berubah dari satu centang menjadi dua.

Menanggapi polemik tersebut, pengamat hukum Johanda Saputra, SH, menilai bahwa aparat penegak hukum perlu menyelidiki secara menyeluruh aliran dana CSR maupun dana Participating Interest (PI) 10% dari Pertamina Hulu Rokan yang dikelola oleh PT RPR.

"Kami mendorong agar penggunaan dana CSR ini ditelusuri lebih dalam, termasuk untuk kegiatan yang melibatkan EO dari luar daerah. Akan lebih berdampak jika EO berasal dari Riau sehingga manfaat ekonomi juga dirasakan masyarakat lokal," tegas Johanda.

Ia juga menyoroti metode penyaluran bantuan yang dilakukan secara tunai tanpa melalui rekening resmi yayasan, yang menurutnya berpotensi menimbulkan dugaan penyimpangan.

"Penyaluran dana seharusnya dilakukan melalui rekening resmi untuk menjamin transparansi. Di Riau masih banyak yayasan yang layak menerima bantuan tapi belum tersentuh," jelasnya.

Selain itu, tim media turut menemukan informasi tentang adanya dana pencadangan sebesar Rp900 miliar pada tahun 2024. Dana tersebut semestinya dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, terlebih dalam kondisi keuangan daerah yang sedang mengalami defisit.

Hingga berita ini diturunkan, pihak manajemen PT RPR, termasuk Direktur Ferry Andriadi dan Komisaris Zulkifli Syukur, belum memberikan tanggapan resmi atas permintaan klarifikasi terkait dugaan penyimpangan dana CSR, potensi mark-up anggaran, maupun persoalan internal lainnya.

Komentar Via Facebook :